
Ilustrasi: Pramoedya Ananta Toer di ruang pustaka.
Seabad Pramoedya – Tahun ini, Blora menjadi tuan rumah peringatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer. Acara akan digelar pada 6-8 Februari besok di tiga lokasi utama, yakni Pendopo Rumah Dinas Bupati Blora, Lapangan Kridosono, dan Blora Creative Space (BSC).
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora dengan kekuatan penuh tampaknya menjadikan momentum ini sebagai ajang promosi wisata, setidaknya wisata literasi.
Bahkan, Pemkab telah mempersiapkan satu ruas jalan untuk diberi nama sebagai jalan Pramoedya. Tak hanya itu, sejumlah pentas seni dan dialog akan dihelat untuk memeriahkan acara ini.
Sebagai aktivis awal 2000-an yang terinspirasi dari keberanian dan nilai-nilai perjuangan Pram, penulis merasa sangat bangga dengan dukungan banyak pihak dalam merayakan seabad Pram.
Namun, kebanggaan saya ini tidak menjadi penghalang untuk menuliskan catatan kritis. Sebuah catatan subyektif penulis yang mungkin tidak menyenangkan bagi beberapa pihak.
Tidak adanya kegiatan di rumah masa kecil Pram menjadi catatan pertama saya. Rumah masa kecil Pram, yang berlokasi di jalan Sumbawa no 40 Kelurahan Jetis Kecamatan Blora Kota, akan sepi acara di peringatan Satu Abad Pram.
Di rumah masa kecil itu, berdiri perpustakaan yang didirikan oleh keluarga Pramoedya, yakni Pataba.
Secara pribadi saya kurang mengerti apa alasan yang melatarbelakangi ditiadakannya acara dirumah masa kecil Pram. Namun yang pasti, tidak adanya acara dirumah tersebut sedikit mengurangi nilai histori dan filosofi peringatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer.
Catatan kedua adalah tentang nama jalan Pramoedya. Semula, jalan Sumbawa yang berlokasi di depan rumah masa kecil Pram akan diganti namanya menjadi jalan Pramoedya.
Namun, karena akan menimbulkan dampak terhadap perubahan data administrasi kependudukan bagi warga setempat, akhirnya rencana ini dibatalkan.
Sebagai gantinya, satu ruas jalan di area persawahan wilayah Mlangsen dipilih sebagai Jalan Pramoedya. Sebuah jalan baru yang notabenenya sepi lalu lalang manusia, angker dan nihil akan nilai histori nama besar Pram.
Menyikapi pembatalan peralihan nama jalan Sumbawa ke jalan Pramoedya atas dalih administratif, penulis merasa hal itu kurang mendasar. Mengingat banyaknya daerah lain yang melakukan hal serupa tanpa adanya hambatan yang signifikan.
Guru Besar Hukum Agraria FHUI Arie Sukanti Hutagalung pernah berpendapat, “Bila terjadi perubahan nama jalan, maka yang dituntut untuk pro-aktif dalam mengajukan permohonan perubahan alamat pada sertifikat dan buku tanahnya adalah pemilik hak itu sendiri,” dikutip dari laman resmi hukumonline.
Berpangkal dari pernyataan diatas, harusnya sikap Pemkab ialah memfasilitasi dan mempermudah warga setempat untuk merubah data administrasi kependudukan, bukan malah merelokasi proyeksi nama jalan Pramoedya ke ruas jalan yang nihil histori dan filosofi.
Lebih jauh, penulis menilai bahwa Pemkab Blora menjadikan momentum Satu Abad Pramoedya sebagai ajang promosi untuk menarik kunjungan wisatawan ke Blora.
Pram yang selama masa orde baru dianggap sebagai musuh negara, kini menjadi alat Pemkab untuk bersolek.
Di sisi lain, pengenalan generasi muda Blora terhadap Pram yang masih minim luput dari perhatian Pemkab.
Ide dan gagasan Pram yang tertuang dalam karya sastranya, terasa hambar dan menguap menjadi bahan podcast dan dialog interaktif saja. Suara Pram menjadi sunyi di tanah kelahirannya sendiri.
Namun demikian, bagi kami yang merasa Pram telah menjadi inspirasi, langkah Pemkab di acara Sebad Pramoedya Ananta Toer ini adalah upaya yang baik. Tentu saja, upaya yang baik dalam perspektif penyelenggara acara Satu Abad Pram di Blora.
baca juga
Penulis: Siti Lestari merupakan mantan ketua PC PMII Kabupaten Blora yang saat ini aktif mengelola Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan (Perempuan) Kinasih.